Anakku Tak Sepenurut Anak Lain (?)

Tanpa disadari, diri ini membandingkan putriku dengan anak lain seusianya (3 tahun 7 bulan). Putriku belum bisa jauh dariku, apapun aktivitasnya harus aku terlihat olehnya. Apalagi di tempat baru, yang di dalamnya tidak ada orang yang ia kenal dengan baik sebelumnya. Bahkan hanya untuk ke toilet dia harus ikut. Sholat pun ikut, wudhu ikut. Dan tak selalu mau mengikuti sholat atau mau ikut wudhu juga, masih "terkadang". Yang aku yakin ia hanya tak mau Mamanya menghilang dari pandangannya. Sempat mau bermain bersama para ustadzah pembimbingnya di hari pertama, tapi hari berikutnya tidak mau lagi.

Belum lagi aktivitas kebiasaan baik yang masih harus dibentuk sejak dini, seperti merapikan mainan, berbagi mainan dengan orang lain atau kawan sepermainannya. Dirinya benar-benar belum bisa, masih lebih banyak menolak dari pada menurutnya. Ditambah kebiasaannya yang masih sering minta gendong, terutama jika berada dalam situasi asing dan kondisi lelah atau mengantuk. Sementara kalau main di playground ia tak kenal lelah, sepulangnya barulah minta gendong, tidak mau turun sampai parkiran.

Kemudian Aku Bertemu Anak Lain Seusianya

Anak itu pun perempuan (hanya selisih 2 bulan), sama-sama masih anak satu-satunya tapi begitu mandiri dan penurut. Bergandengan tangan dengan orang tuanya sudah cukup baginya menggantikan kegiatan "menggendong". Sudah bersedia dititipkan/ bermain bersama orang lain yang ditunjuk orang tuanya ketika mereka berkeperluan yang tidak memungkinkan untuk mengikutsertakan dirinya. Ketika bermain bersama putriku pun, ia terlihat mau berbagi mainan dan merangkul.

Kucari tahu dari ibu sang anak, apa yang bisa membuatnya bisa semandiri itu? Jawabannya, anak itu terbiasa dalam keramaian, memahami orang tuanya yang harus bekerja keluar rumah. Sering juga diajak bekerja atau menghadiri pesta klien orang tuanya yang memiliki usaha wedding service. Ia juga sudah ikut sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di sekitar rumahnya, sejak usianya tiga tahun.

Sedangkan putriku 100% anak rumahan, belum pernah menempuh pendidikan di luar rumah. Sehari-hari temannya hanya kedua orang tuanya. Kami hidup rantau yang berpindah dari suatu kota ke kota lain sesuai dengan penempatan tugas Papanya. Keadaan ini menjadikan kami berganti tetangga, rumah tinggal, termasuk berganti teman-teman bagi putri kecil kami. Secara logika kemampuan beradaptasinya lebih baik ya dibanding anak-anak yang tidak pernah berpindah? Tapi kenyataannya ilmu psikologi anak tidak sesederhana itu. Ia justru menjadi lebih banyak perlu dibimbing dan diberi pemahaman ekstra.

Terlalu Cepat Meminta Hasil

Keadaan ini tak lantas membawa kami dalam pemakluman dan pembiaran, melainkan terus bertanya "apa yang kemudian harus kami lakukan?". Alhamdulillah 'ala kulli haal, Allah Al-Hadi Sang Maha Pemberi Petunjuk, memudahkan kami untuk berkesempatan berkonsultasi kepada salah satu ahli ilmu parenting  dan marriage, Abah Lilik Riza via telepon sebagai tindak lanjut kegiatan daurah keluarga, Jannah Family Camp di Eastparc Hotel Yogyakarta, pada 21-23 Februari 2020 lalu.

Gambar 1. Dokumentasi keikutsertaan Jannah Family Camp

Abah (begitu kami memanggilnya akrab) mudah saja menjawab kegelisahan kami dengan kalimat "anak usia tiga tahun adalah anak dengan usia pra-operasional (yang tidak bisa dipaksakan menjadi operasional konkret) perkembangan emosinya". Maka, fokuslah membersamai perkembangan emosinya secara penuh dan sabar.

Abah menambahkan, panen pengasuhan anak ialah di usia 15 tahun hijriyah, paling cepat di usia 10 tahun masehi (The Golden Age menurut WHO), anak memungkinkan untuk memiliki kemampuan untuk sholat tanpa diperintah. Sehingga, ia harus sudah selesai dengan fase tantrumnya di usia 7 tahun, dan sudah siap dengan ilmu-ilmu dasarnya, yaitu tauhid, adab, tata cara sholat, makna sholat, dan sebagainya.

Maka wajar, jika kami masih mendapati anak kami yang masing "terkadang" tidak mau membereskan mainannya, tidak selalu mau mengikuti sholat, tak jarang menolak muraja'ah, belum nbisa jauh/ terpisah begitu lama. Karena masa ini adalah usianya untuk berproses, menanamkan kebiasaan baik, memperkuat bonding. Jangan pernah lelah. Jangan kendor dulu ketika anak sudah baik, karena usia pra-operasional ini yang masih berkembang emosinya.

Menghentikan Tantrum

Usia 0-10 tahun ialah masa untuk menanamkan kebiasaan pada anak:
  • Menstimulasi anak,
  • Memberikan kesan positif terhadap pengasuhan anak,
  • Membangun kebiasaan baik anak.
Anak baru bisa paham, di usia 7 tahun ke atas. Anak diberikan informasi untuk membentuk kebiasaan, ujiannya adalah EMOSI ANAK, itu wajar karena memang fasenya. Anak nurut adalah HASIL, kita tidak bisa meminta hasil di usia sekarang. Jika tantrum, orang tua harus tegas dan konsisten, bukan sekedar anak "diberi tahu", karena "diberi tahu" adalah wilayah pemahaman/ pengetahuan, sedangkan anak usia tiga tahun belum bisa paham.

Adapun bentuk pemahaman yang bisa diberikan adalah ketegasan orang tua untuk tidak melakukan apa yang diminta anak semata-mata untuk menghentikan tangisannya, melainkan membentuk kebiasaan hingga anak dapat berpikir, "tangisan saya tidak pernah bisa memaksa orang tua saya untuk menuruti kemauan saya".

"Nak, menangis bukan cara meminta sesuatu. Tangisanmu tidak akan bisa memaksa Papa dan Mama".

Langkah berikutnya, berikan apresiasi jika anak tidak lagi menangis/ tantrum. Bukan dengan dijanjikan hadiah, karena menghentikan tantrum tidak boleh ada hubungannya dengan meminta sesuatu, dan harus terjadi selama kurang lebih 28 hari berturut-turut. Jika gagal satu hari, maka siap-siap untuk mengulang dari awal. Contoh apresiasinya:

"Mama seneng deh Nak, Mama bahagia. Tau nggak kenapa? Karena tadi kamu bantu Mama untuk bisa pulang tepat waktu dan sampai rumah bisa main sendiri selama Mama dan Papa belajar di rumah sama Abah Ustadz. Terima kasih ya Nak.. (berikan pelukan kasih sayang)".

Intinya adalah memasukkan memori pola pemahaman ketika dia melakukan apa sehingga orang tuanya menjadi bahagia/ senang. Menanamkan hal-hal yang bisa ia lakukan untuk bisa membuat Papa dan Mamanya senang. Kemudian, memastikan tantrum anak menghilang dengan penanaman nilai, bukan faktor pertambahan usia saja.

Ketika Hadir Tantrum di Depan Kakek Nenek

Sudah dapat dipastikan kakek nenek dari anak-anak kita adalah orang-orang yang paling tidak bisa tahan mendengar tangisan cucunya, hingga keluar kalimat untuk kita yang mendidiknya, "kok kalian tega sama anak". Kalimat itu muncul karena beberapa kemungkinan alasan:
  • Zamannya berbeda
  • Psikologis mereka berbeda
  • Karena mungkin dulu tidak sempat/ berkemampuan memanjakan anak, sehingga secara tidak langsung tindakan mereka sekarang juga disebabkan oleh emosi masa lalunya.
Perlu disadari pula, tantangan pengasuhan zaman dahulu (ketika kakek nenek membesarkan kita) adalah berbeda. Faktor-faktor pengganggu perkembangan anak lebih banyak dan fatal saat ini, anak tidak lagi bisa dibiarkan "asal tumbuh besar". Ditambah kita juga perlu memberikan transfer ilmu parenting untuk anak-anak kita sebagai kader calon orang tua yang mungkin saja di zaman berikutnya tantangan menjadi orang tua menjadi lebih sulit lagi.

Hal tersebut di atas yang jarang bahkan tidak sedikitpun kita peroleh sebagai anak dari orang tua kita, setidaknya sebagai panutan atau contoh, sehingga kini kita harus senantiasa belajar ilmu parenting untuk dapat dengan sebaik-baiknya melahirkan generasi rabbani. Jika hadir tantrum di depan kakek neneknya, maka ada tiga hal yang harus dilakukan:
  1. Selesaikan tahapan tantrum oleh orang tuanya terlebih dahulu, sehingga jika muncul tantrum di luar rumah (termasuk kepada kakek-neneknya) tidak sampai level tinggi.
  2. Kondisikan kakek-nenknya, jelaskan tentang program pengobatan tantrum yang sedang dijalankan
  3. Ketika sudah berada dalam situasi terbaik (tanpa kakek nenek) lagi, evaluasi dengan anak di waktu nyaman, "Nak, kemarin yang di rumah nenek itu kenapa ya? Yang terjadi apa? Baik nggak yang seperti itu?"
"Semua yang terjadi pada anak, sesungguhnya adalah cara Allah untuk memberikan kesempatan kita menanamkan prinsip dan nilai hidup pada anak." 
- Abah Lilik Riza -

Membantu Anak Mengenali Emosinya

Sejak usia dini, kenalkan anak beragam jenis emosi. Apa dan bagaimana itu senang, marah, terkejut, sedih, takut, dan sebagainya. Selesaikan masalah emosi diri kita sendiri dahulu. Sebagai orang tua, kita harus sudah bisa mengendalikan emosi diri sendiri. Setelah itu, baru bisa membantu anak mengenali dan mengendalikan emosinya, "Lagi sedih ya Nak? Nanti kalau sudah selesai nangisnya, kita ngobrol lagi ya". Sehingga ia merasa didengarkan, tapi tidak dituruti emosinya. 

In syaa Allah, jika selama tujuh tahun pertama itu kita bisa: melatih emosinya, ekspresif dengan dia, bermain bersamanya, membangun bonding dengannya, mengobrol seru dan menyenangkan dengannya hingga masuk ke dalam wilayah emosinya, selanjutnya kita bisa menoptimalkan otak logikanya. Sebaliknya, jika pendidikan di tujuh tahun pertama kita gagal, kita akan menghasilkan anak yang moody. Padahal visi pendidikan orang tua lebih penting dari moody, dan moody ini akan memiliki dampak yang panjang.

Pentingnya Kepemimpinan Suami sebagai Laki-laki dalam Keluarga

Lelahnya pengasuhan itu sebenarnya adalah dua hal:
  1. Menghilangkan awering pola asuh masa lalu kita
  2. Mengendalikan emosi kita sekarang, dengan segala macam permasalahan yang ada saat ini (mengkotak-kotakkan emosi masalah supaya tidak bercampur baur)
Mengkotak-kotakan emosi masalah maksudnya di sini adalah tidak membawa pulang kepenatan dalam perkerjaan kantor (luar) ke rumah, disalurkan kelelahannya kepada anggota keluarga yang lain di waktu yang salah dan sejenisnya. Upayakan ketika sampai di rumah, yang suami bawa adalah sisa energi secukupnya dan waktu luang untuk fokus dihabiskan bersama anggota keluarga yang sudah menanti di rumah.

Video 1. Sedikit cuplikan dokumentasi sewaktu berkonsultasi dengan Abah Lilik Riza via telepon

Semua ini berada di bawah kepemimpinan suami, karena istri adalah perempuan. Perempuan yang memang fitrahnya multi tasking ini, akan selalu punya masalah dengan emosinya. Maka itu perempuan lebih ingin didengarkan, dari pada dimengerti, karena seringkali perempuan bahkan tidak mengerti dengan dirinya sendiri.

Menurut Syaikh Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, sebelum belajar ilmu yang lain, ada dua ilmu yang harus dipelajari terlebih dahulu, yaitu:
  1. Ma'rifatullah (mengenal Allah)
  2. Ma'rifatunnafs (mengenal diri sendiri)
Menikah adalah menggabungkan dua pribadi yang berbeda, maka penting untuk mengenali diri sendiri terlebih dahulu sehingga terjadi pemakluman dan kompromi,

Perlu diketahui bahwa:
5 tahun pertama pernikahan adalah fase penyesuaian dan pengenalan karakter diri lebih menyeluruh
5 tahun kedua adalah fase penguatan pelaksanaan visi misi keluarga
5 tahun ketiga dan berikutnya diharapkan telah dapat konsisten menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul

Adapun tahapan yang harus dilakukan adalah:
1)      Orang tua mengasuh di 10 tahun pertama kehidupan anak
a.       Menghindari trigger emosi dalam kondisi lelah (suami pulang kerja)
b.      Mengenali emosinya sendiri
c.       Cara menerapkannya
2)      Kejelasan visi dan misi keluarga
a.       Konsep diri sendiri
b.      Terbentuk karakter anak


Qaulan sadiidan di sini artinya menggunakan kata-kata yang benar, jelas, gamblang, tidak ada multi tafsir dan sesuai dengan kemampuan pemahaman otak sesuai usia anak. Jadi sebelum anak tantrum, pastikan kita telah memberikan informasi kepada anak dengan qaulan sadiidan. Misalnya sebelum jadwal konsul ini kejadiannya, anak sempat tantrum belum mau pulang, padahal sudah janji akan konsul via telepon dengan Abah Lilik Riza jam 8 malam, sehingga sebelum jam 7 sudah harus sampai rumah.

Letak kesalahannya, kami sebelumnya tidak menginformasikan kepadanya tentang jam berapa kita harus sampai di rumah. Ditambah memang waktu keluar kami belum cukup alokasi untuknya bermain seperti weekend biasanya. Anak sempat tantrum sepanjang perjalanan pulang, hingga akhirnya ketiduran karena lelah dan mengantuk. Tapi begitu sampai di rumah ia sudah lebih baik, kemudian baru kami informasikan alasan kenapa kita harus pulang lebih awal dan minta tolong kepadanya untuk sementara bermain sendiri dulu selama kami berkonsultasi via telepon.

Alhamdulillah konsultasinya bisa berjalan dengan lancar dan setelahnya kami apresiasi kebaikannya sebagaimana Abah Lilik Riza ajarkan. Maka, terbukti ketika diinformasikan sejak awal, tidak akan ada tantrum di perjalanan sebagaimana yang telah terjadi. Itulah contoh pentingnya menyampaikan informasi dengan qaulan sadiidan.

Solusi Agar Tidak Menghasilkan Generasi yang Lemah

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak, antara lain:
  • Niatnya: Lillahita'ala
  • Referensi ilmunya: Al-Qur'an dan Hadist
  • Cara menerapkannya
Mari bersama memahami, terdapat beberapa tingkatan seorang manusia di hadapan Allah Subhanahu WaTa'ala yang digunakan sebagai panggilan kepada hambaNya tersurat secara khusus di dalam ayat-ayat Al-Qur'an, yaitu:

  1. Muslim à meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Pasti masuk surga (muslim standart insyaa Allah pasti masuk surga), muslim yang tidak standart naik tingkat menjadi mukmin karena bisa saja masuk surga tanpa mampir ke nereka dahulu. Jika kita mendidik anak hanya agar anak tidak nakal, tidak neko-neko, adalah standart utk menjadi muslim saja, belum di tingkatan yang lebih tinggi
  2. Mukmin (orang beriman) à kata kuncinya ialah cinta dan diuji
  3. Muttaqin (orang bertaqwa) à Berhati-hati dan mendapat rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka
  4. Mukhlisin (orang yang ikhlas) à orang yang penuh dengan bahagia karena ikhlasnya hanya fokus terhadap penilaian Tuhannya
  5. Mukhsinin à yang tertinggi melakukan segala sesuatu yang paaliingg terbaik menurut Allah Subhanahu WaTa’ala karena merasa diawasi olehNya.

Surat ini merupakan panggilan untuk orang yang beriman (Mukmin), orang yang cinta kepada Allah yang paham bahwa hidup ini adalah ujian, agar ia bersikap taqwa, yaitu berhati-hati. Orang yang termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang paham mana yang diperintah dan mana yang dilarang. Orang yang hidupnya memiliki rancangan untuk hari esok (dunia dan akhirat).

Penting sekali bagi kita para orang tua untuk memiliki konsep pendidikan yang jelas untuk anak dan pandai mengkomunikasikannya. Penting untuk menjadi orang tua yang takut kepada Allah karena berilmu (ulama adalah orang berilmu, yaitu orang yang paling takut kepada Allah), yaitu dengan cara perisiapkan diri bagaimana rancangan pengasuhan untuk masa depan. Kemudian, perbaiki pola komunikasi, agar setiap komunikasi dalam keluarga qaulan sadiidan.

Jazaakallahu khairan katsiiran Abah Lilik Riza atas luangan waktunya untuk kami dapat berkonsultasi. In syaa Allah dengan kami berbagi di sini menjadi juga bermanfaat bagi pembacanya, terutama bagi kami sekeluarga. Jazaakumullahu khairan katsiiran juga untuk tim Syameela Jannah Family Camp Batch 1 yang telah menyelenggarakan kegiatan yang begitu bergizi hingga mempertemukan kami dengan Abah Lilik Riza. Sampai jumpa di tulisan berikutnya, terima kasih.

Share:
Read More